
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
REPUBLIK INDONESIA
PEMBUKAA
REPUBLIK INDONESIA
PEMBUKAA
BUNYI ALINEA PERTAMA
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Undang-Undang Dasar 1945 adalah induk dari dan dasar dari semua produk Undang-Undang dan Peraturan atau keputusan yang dihasilkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Meski berbeda-bebda hasil regulasi yang dihasilkan oleh para politikus Senayan yang didominasi oleh beragam kepentingan, latar belakang dan tujuan, maka seharusnya harus berangkat dari spirit dan semangat dari Undang-undang induk ini. Tetapi seringkali bertolak belalang secara substansi dan semangat sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang banyak regulasi tapi justru terkorup, bahkan menyebabkan multidimensi kejahatan yang menjadi-jadi dalam realitasnya. Kadang kejahatan dan penyelewengan itu didukung oleh Undang-Undang itu sendiri, bahkan tidak hanya oleh masyarakat awam, tetapi justru oleh para elit dan oleh regulator atau legislator di Senayan.
Pada akhirnya UUD 1945 itu seperti mati suri dan tidak bernyawa sama sekali. Yang menjadi hidup dan aktif ada Undang-Undang turunan dan sejumlah peraturan pemerintah. Dan yang lebih para lagi adalah orang-orang mencoba menafsirkannya dengan srmaunya dan untuk mencapai tujuannya sendiri.
Artinya, kebenaran dan keadilan yang diharapkan oleh rakyat Indonesia yang majemuk itu tak sampai-sampai. Tak ada kebenaran dan keadilan yang menyebabkan kehilangan kedamaian dan diganti dengan terciptanya konflik dalam batin, merasakan keresahan akibat pelaksanaan atau penerapan hukum tebang pilih, kerenggangan perbedaan semakin tajam, terbentuknya gumpalan-gumpalan daerahisme, sukuisme, margaisme bagaikan gunung es di samudera atlantik, yang menunggu waktu untuk runtuh dan cair.
Karenanya rakyat bawah atau di akar rumput coba mencari keadilan dan kebenaran dengan cara dan usahanya sendiri. Pencarian kebenaran tersebut sesuai dengan kecocokan, kesenangan dan berdasarkan persamaan ideologi. Sementara negara seperti tak berdaya dan kehilangan kendali untuk mengontrol sejumlah masalah dan pergerakan. Bahkan terkesan lepas kendali dengan menabrak pilar-pilar budaya asli Indonesia seperti: persatuan, perikemanusiaan, keadilan sosial, kerakyatan, kebinekaan hanya dengan alasan menjaga satu pilar, yakni NKRI. Kemudian pelanggaran-pelanggaran tersebut coba mencari pembenaran dengan deduksikan regulasi yang ada dengan cukup dipaksakan.
Hal inilah yang menyebabkan isu dan gerakan Refredum West Papua terus berlanjut hingga dewasa ini. Terdapat sejumlah pelanggaran mendasar yang merenggut Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara melalui TNI dan Polri di Papua selama 39 tahun yaitu sejak 1969 hingga 2018 ini. Semua dokumen pelanggaran tersebut telah ada di sejumlah media diberbagai negara dan di tangan para individu. Pelanggaran dan kejahatan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk dan sifat, yaitu:
1. Historikal;
2. Kemanusiaan;
3. Perampasan;
4. Diskriminasi;
5. Hukum;
Dengan demikian, Orang Asli Papua merasa dijajah, dirampok dan ditindas oleh kehadiran Indonesia di bumi Cenderawasih. Selama Irian Jaya diintegrasikan ke bumi Pertiwi, Indonesia gagal mengIndonesikan masyarakat Papua. Orang Papua dipaksakan ada "di bumi pertiwi" dan secara paksa orang Melanesia digabungkan dengan masyarakat "rumpun Melayu." Karena itu, Indonesia melalui TNI dan Polri sudah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dasar pada alinea pertama di atas.
Jadi harus disadari, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Undang-Undang Dasar 1945 adalah induk dari dan dasar dari semua produk Undang-Undang dan Peraturan atau keputusan yang dihasilkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Meski berbeda-bebda hasil regulasi yang dihasilkan oleh para politikus Senayan yang didominasi oleh beragam kepentingan, latar belakang dan tujuan, maka seharusnya harus berangkat dari spirit dan semangat dari Undang-undang induk ini. Tetapi seringkali bertolak belalang secara substansi dan semangat sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang banyak regulasi tapi justru terkorup, bahkan menyebabkan multidimensi kejahatan yang menjadi-jadi dalam realitasnya. Kadang kejahatan dan penyelewengan itu didukung oleh Undang-Undang itu sendiri, bahkan tidak hanya oleh masyarakat awam, tetapi justru oleh para elit dan oleh regulator atau legislator di Senayan.
Pada akhirnya UUD 1945 itu seperti mati suri dan tidak bernyawa sama sekali. Yang menjadi hidup dan aktif ada Undang-Undang turunan dan sejumlah peraturan pemerintah. Dan yang lebih para lagi adalah orang-orang mencoba menafsirkannya dengan srmaunya dan untuk mencapai tujuannya sendiri.
Artinya, kebenaran dan keadilan yang diharapkan oleh rakyat Indonesia yang majemuk itu tak sampai-sampai. Tak ada kebenaran dan keadilan yang menyebabkan kehilangan kedamaian dan diganti dengan terciptanya konflik dalam batin, merasakan keresahan akibat pelaksanaan atau penerapan hukum tebang pilih, kerenggangan perbedaan semakin tajam, terbentuknya gumpalan-gumpalan daerahisme, sukuisme, margaisme bagaikan gunung es di samudera atlantik, yang menunggu waktu untuk runtuh dan cair.
Karenanya rakyat bawah atau di akar rumput coba mencari keadilan dan kebenaran dengan cara dan usahanya sendiri. Pencarian kebenaran tersebut sesuai dengan kecocokan, kesenangan dan berdasarkan persamaan ideologi. Sementara negara seperti tak berdaya dan kehilangan kendali untuk mengontrol sejumlah masalah dan pergerakan. Bahkan terkesan lepas kendali dengan menabrak pilar-pilar budaya asli Indonesia seperti: persatuan, perikemanusiaan, keadilan sosial, kerakyatan, kebinekaan hanya dengan alasan menjaga satu pilar, yakni NKRI. Kemudian pelanggaran-pelanggaran tersebut coba mencari pembenaran dengan deduksikan regulasi yang ada dengan cukup dipaksakan.
Hal inilah yang menyebabkan isu dan gerakan Refredum West Papua terus berlanjut hingga dewasa ini. Terdapat sejumlah pelanggaran mendasar yang merenggut Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara melalui TNI dan Polri di Papua selama 39 tahun yaitu sejak 1969 hingga 2018 ini. Semua dokumen pelanggaran tersebut telah ada di sejumlah media diberbagai negara dan di tangan para individu. Pelanggaran dan kejahatan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk dan sifat, yaitu:
1. Historikal;
2. Kemanusiaan;
3. Perampasan;
4. Diskriminasi;
5. Hukum;
Dengan demikian, Orang Asli Papua merasa dijajah, dirampok dan ditindas oleh kehadiran Indonesia di bumi Cenderawasih. Selama Irian Jaya diintegrasikan ke bumi Pertiwi, Indonesia gagal mengIndonesikan masyarakat Papua. Orang Papua dipaksakan ada "di bumi pertiwi" dan secara paksa orang Melanesia digabungkan dengan masyarakat "rumpun Melayu." Karena itu, Indonesia melalui TNI dan Polri sudah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dasar pada alinea pertama di atas.
Jadi harus disadari, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar